Ini kisah pemuda 20 tahun yang hendak menikahi gadis dari Plat AE, daerah Ratna Dumilah. Di namanya terkandung pula kata "Ratna".
Sebab ketakpercayaan diri untuk berikhtiar mandiri, dia percayakan urusan "siapa" pada Allah dan guru yang dipandang mumpuni, agar lebih fokus mempersiapkan "bagaimana".
"Kriterianya apa?", tanya seorang Ustadz.
"Yang shalihah dan menshalihkan", jawabnya.
"Bagus. Tapi abstrak. Bisa agak konkret?"
"Emm.. Yang punya sedikitnya 3 kelompok binaan pengajian?"
"Mantap."
Tak lama, dia telah memegang lembar biodata. Dia tahu nama, pendidikan, tinggi dan berat badan, aktivitas, hobi, tradisi keluarga, hingga penyakit yang pernah diderita. Hari untuk berjumpa dan melihatnyapun tiba.
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
“Lihatlah wanita yang akan kau nikahi, yang demikian lebih melanggengkan hubungan di antara kalian.” (HR. An Nasa'i/3235, At Tirmidzi/1087)
Nasehat Rasulullah untuk Mughirah ibn Syu'bah ini hendak dia 'amalkan segera. Tahu bahwa gadis itu bekerja paruh waktu di sela kuliah sebagai Asisten Apoteker, diapun mencoba tuk mengamatinya. Kali itu dengan cara sembunyi-sembunyi seperti Sayyidina Jabir diajari Nabi.
Belanja ke Apotek itu, dibelinya multivitamin. Tapi ternyata tugas AA di belakang meracik obat, bukan melayani pembeli. Nazhar seharga 18 ribu itu gagal.
Maka pertemuan pertama 8 Juli 2004 itu diniati untuk melihat. Apa daya, sepanjang pertemuan tak banyak kata, dan pemuda ini terus menunduk, sama sekali tak berani menatap langsung pada gadis di hadapannya.
Untung meja ruang tamu Sang Ustadz terbuat dari kaca. Bening sekali.
Pada pertemuan kedua 12 Juli 2004, dengan dimoderatori sang Ustadz dan si istri, terjadilah diskusi.
Pertanyaan, "Visi misi pernikahan Anda?", "Bagaimana konsep pendidikan anak yang tepat?", "Pandangan Anda tentang istri yang berkarier?", "Seperti apa proyeksi nafkah nanti?", "Pendapat Anda tentang homeschooling?", "Rencana tempat tinggal & penataannya?", diberondongkan dengan lebih mengerikan dari ujian pendadaran.
Tapi endingnya adalah pengakuan, "Maaf, saya tidak bisa memasak."
Si pemuda bergumam dalam hati, "Ya Allah aku minta yang shalihah dan menshalihkan. Rupanya pandai memasak belum termasuk di situ. Ya Allah apakah Kau menguji kesungguhan kriteriaku?" Lalu dia kuatkan hati, "Tak apa Ukhti. Di kota ini banyak rumah makan. Murah-murah lagi."
"Saya juga tidak terbiasa mencuci."
"Alamak", batin si pemuda. Tapi mengingat hal yang sama, dia berkata lagi, "Tak apa Ukhti. Di kota ini banyak laundry. Kiloan lagi."
"Saya bukan mencari tukang masak dan tukang cuci. Saya cari istri. Kalau diperkenankan, saya akan segera menghadap Ayah Anda." Maka hari itu, lamaranpun disepakati 6 hari kemudian, 18 Juli.
Ta'aruf memang bukan soal berjumpa berapa kali. Ia tentang prasangka baik, prioritas kesefahaman, dan komitmen. Pacaran tidak memberikan ini, karena set mental menginginkan kepastian membuat kita tampil lebih baik dari aslinya, hingga kadang keluhan di rumahtangga adalah, "Sudah kelihatan aslinya."
Nah bagaimana saling mengenal yang hakiki? Ta'aruf itu istilah umum. Dalam Al Quran, ia adalah hikmah diciptanya kita bersuku-suku & berbangsa-bangsa. Jadi, kapan ta'arufnya suami-istri?
Seumur hidup!
Sebab manusia adalah makhluk penuh dinamika. Dia sedetik lalu takkan persis serupa dengan kini. Ta'aruf itu seumur hidup. Sebab kenal sejati adalah saat bergandengtangan di surga nanti.
Tiga belas tahun berta'aruf, pemuda itu masih terus belajar mengenal istrinya. Selalu ada kejutan ketika prasangka baik dikedepankan. Misalnya, si cantik yang mengaku tak bisa memasak itu, pada HUT RI ke-60 setahun bakda nikah, menjadi juara lomba masak Agustusan Tingkat RT. Lumayan.
sumber: instagram/salimafillah